Halaman

ahlan wa sahlan

Rabu, Desember 07, 2011

Ketika Kaki dan Tangan Bicara

Tulisan ini saya buat untuk memenuhi tugas salah satu mata kuliah yang saya ambil di semester tiga ini. disini saya hanya ingin berbagi pengalaman. semoga berkenan membaca
.

Pada hari ini kami tutup mulut mereka, dan berkatalah kepada kami tangan mereka dan memberi kesaksianlah kaki mereka terhadap apa yang dahulu mereka usahakan.” (Yasin : 65)
Kalimat diatas adalah sepenggal ayat yang ada dalam al qur’an. Sebuah ayat yang mengisahkan tentang kondisi manusia nantinya di padang mahsyar. Kondisi dimana kebohongan tak mungkin lagi terucap karena kesaksian atas apa yang manusia kerjakan saat masih hidup dituturkan sendiri oleh kaki yang digunakan untuk melangkah atau tangan yang digunakan untuk berbuat. Ada kenangan tersendiri dalam makna ayat tersebut. Sebuah pengalaman yang kualami belum lama ini.

Pada tanggal 23 Oktober 2011 aku mengikuti sebuah training. Training ini diadakan khusus untuk mentor belajar yang berada di bawah naungan lembaga privat dan bimbingan belajar BMT Safinah. Lembaga ini berada di bawah naungan BMT Safinah dan bergerak di bidang pendidikan untuk anak-anak dhuafa. Mereka menyalurkan zakat untuk beasiswa pendidikan anak-anak dhuafa yang berada di jenjang pendidikan dasar dan pendidikan menengah pertama.
Tentu bukan hanya sekedar memberikan beasiswa bagi anak-anak dhuafa, namun lembaga ini juga mempunyai beberapa program demi kemajuan pendidikan dan akhlak anak-anak dhuafa. Salah satu program yang sekarang sedang dijalankan adalah program privat belajar untuk anak-anak dhuafa penerima beasiswa. Jadi minimal satu hari dalam satu pekan akan ada seorang mentor belajar yang akan menemani anak penerima beasiswa dalam belajar.

Aku mulai bergabung menjadi mentor belajar di lembaga ini tiga bulan yang lalu. Pada awalnya aku mendapatkan sebuah pesan singkat dari seorang sahabat lamaku. Pesan singkat itu berisi info lowongan untuk menjadi mentor di lembaga privat dan bimbingan belajar BMT Safinah. Aku tertarik karena memang aku ingin mencari pekerjaan sambilan untuk menambah pengalaman disamping rutinitas kuliah. Kemudian aku mulai datang ke wisma BMT Safinah yang letaknya sekitar lima kilometer dari rumahku. Disana aku bertemu dengan salah satu pengurusnya. Saat aku berkata ingin melamar menjadi mentor mereka mencoba menanyakan keseriusanku karena mentor yang akan bekerja di lembaga ini tidak akan mendapatkan bayaran selayaknya mentor pada lembaga bimbingan belajar yang lain, mereka membutuhkan relawan untuk menjadi mentor. Jujur aku merasa semangatku sedikit berkurang mendengar kata “relawan”. Namun akhirnya kubawa pulang juga dua lembar formulir yang diberikan oleh pengurus lembaga tadi.

Di rumah aku menceritakan semua yang dikatakan oleh pengurus lembaga tadi kepada ayahku. Beliau tersenyum kemudian menasehatiku bahwa di dunia ini jangan hanya materi saja yang dikejar karena sesungguhnya ada hal yang jauh lebih berharga dari sekedar materi. Dengan aku ikut dalam lembaga itu aku akan mendapatkan pengalaman bagaimana berhadapan dengan orang lain. Hal ini tentu sangat bermanfaat kelak untukku sebagai seorang calon guru. Atas nasehat dari ayahku ini akhirnya aku memutuskan untuk mendaftarkan diri menjadi calon mentor di lembaga itu. Satu hal juga yang ku yakini adalah bahwa ilmu itu tak akan ada manfaatnya jika hanya disimpan sendiri dan tak akan pernah berkurang saat kita mau membaginya dengan orang lain.

Akhirnya aku kembali ke wisma BMT untuk menyerahkan formulir dan mengikuti test tertulis. Salah satu pertanyaan yang membuatku terkesan adalah “ Bagaimana pendapatmu tentang mencontek?”. Dari pertanyaan ini terlihat bahwa lembaga ini bukan hanya sekedar mengejar prestasi akademik namun juga mengedepankan pengembangan karakter yang baik. Ujian tulis pun dapat kulewati. Kemudian tibalah hari dimana test wawancara dan mikroteaching dilaksanakan. Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan dalam wawancara tak jauh berbeda dengan pertanyaan dalam test tertulis. Dan pada saat test mikroteaching aku benar-benar grogi. Selama ini aku belum pernah mengajar anak-anak kecil. Keringat pun bercucuran dari badanku. Kalimat-kalimat yang mengalir dari mulutku pun agak kurang runtut dan aku hanya bisa pasrah dengan hasil ujian hari ini.

Selang dua pekan setelah test wawancara aku mendapatkan sebuah pesan singkat yang berisi bahwa aku diterima sebagai salah satu calon mentor. Aku bahagia. Kemudian aku diminta datang untuk mendiskusikan beberapa hal yang berkaitan dengan tugas yang akan aku jalani nantinya. Dalam pertemuan perdana ini kami para calon mentor diminta menulis beberapa komitmen yang harus dipatuhi untuk menjadi mentor belajar di lembaga ini. Kurang lebih ada lima poin komitmen yang harus kami jalani. Alhamdulillah kelima butir komitmen yang diminta tak ada yang bertentangan dengan prinsipku selama ini. Kemudian kami dijelaskan mengenai tugas pertama yang harus kami lakukan.
Tugas pertama adalah home visit. Kami ditugaskan untuk mencari sendiri lokasi tempat tinggal anak yang akan kami dampingi nantinya dengan bekal alamat yang terdaftar di lembaga. Kami harus menanyakan beberapa hal untuk dilaporkan satu pekan lagi. Aku mendapatkan tugas mengunjungi dua orang anak. Namanya adalah Julianti dan Dian Ayu Utarifah. Julianti beralamat di Jogodayoh Lor sedangkan Dian beralamat di Timbul Rejo Karanganom. Alhamdulillah kedua alamat ini dekat dengan tempat tinggalku jadi hanya dengan satu kali bertanya aku dapat menemukan lokasi rumah mereka. Aku pertama kali mengunjungi Dian. Saat aku baru hendak bertanya ternyata mereka sudah tahu bahwa aku adalah utusan dari BMT. Akupun lalu mengobrol dengan Dian. Dia adalah anak yang manis dan sepertinya ceria juga pintar. Kemudian aku melanjutkan perjalanan ke rumah Julianti, dan ternyata rumah Julianti dekat dengan rumah adik kakekku. Saat aku tiba di rumah Julianti ternyata Julianti sedang tidak berada di rumah. Jadi ku putuskan untuk mengobrol dengan ibu Julianti saja.
Satu pekan setelahnya aku mulai menjalani rutinitas baruku untuk mendampingi Julianti dan Dian belajar. Aku mengunjungi mereka setiap hari minggu dan harus melaporkan hasil kunjunganku pada hari sabtu pekan selanjutnya. Banyak hal yang dapat kuambil dari kisah Juli dan Dian. Juli adalah anak yang mempunyai semangat belajar tinggi. Dia selalu menduduki peringkat pertama di kelasnya. Dia bahkan rela mengayuh sepedanya sejauh lima belas kilometer hanya untuk datang ke rumah guru bahasa Inggrisnya untuk minta diajari beberapa hal. Ia juga rela berputar-putar mencari rumah guru matematikanya untuk meminta bimbingan. Sungguh tak ada kata lelah dari mulutnya. Ia sadar ia adalah anak dari keluarga yang bisa dikatakan kurang mampu dalam hal finansial namun ia tak mau kekurangan dalam hal ilmu. Ia juga bercerita padaku bahwa ia ingin sekali menjadi seorang guru. Ia ingin membagi ilmu yang ia miliki dengan orang lain. Sungguh cita-cita yang mulia. Namun sepertinya kedua orangtuanya agak kurang setuju dengan niat mulia tersebut. Dan dapat aku tebak bahwa ini berkaitan dengan biaya kuliah nantinya.

Lain Julianti lain pula Dian. Dian sebenarnya adalah anak yang cerdas. Ia adalah siswi yang aktif di berbagai kegiatan ekstrakurikuler di sekolahnya. Selidik punya selidik ternyata keaktifannya dalam berbagai kegiatan ekstrakurikuler di sekolahnya adalah sebuah pelampiasan kekecewaan atas perceraian kedua orangtuanya. Ya, kedua orangtua Dian berpisah saat Dian masih duduk di bangku sekolah dasar di tahun keenam. Memang benar sebuah pernyataan yang menyebutkan bahwa “Yang paling terluka akibat perpisahan dua orang suami istri adalah anak mereka”. Semenjak orang tuanya bercerai Dian menjadi pribadi yang berbeda, ia agak membenci ayahnya. Awalnya Dian tinggal bersama ibunya namun setelah setengah tahun sang ayah menjemput Dian untuk tinggal bersamanya. Pada awalnya Dian tidak mau namun karena mendengar ayahnya jatuh sakit karena merindukannya akhirnya Dian mau tinggal bersama sang ayah. Di rumah sang ayah Dian menampakkan kebenciannya. Ia selalu berselisih pendapat dengan ayahnya. Ia tak betah berlama-lama di rumah dan hal inilah yang membuatnya aktif di kegiatan di luar rumah. Untunglah ia melampiaskan rasa tidak betahnya di rumah ke dalam hal yang positif yaitu mengikuti sejumlah ekstrakurikuler. Namun bagaimanapun juga ayah adalah orangtua yang tetap harus kita hormati itulah hal yang selalu aku sampaikan pada Dian.

Kisah hidup kedua gadis kecil ini membuatku malu, betapa selama ini ternyata hanya umurku saja yang bertambah tua namun kedewasaanku belum sepenuhnya terbentuk. Betapa selama ini aku terlalu banyak mengeluh padahal begitu banyak nikmat yang Dia berikan padaku. Dari pengalamanku berbagi cerita dengan kedua gadis kecil ini aku merasa terlalu banyak hal yang aku sia-siakan. Aku memiliki kedua orangtua yang sangat menyayangiku dan sangat mendukung pendidikanku. Tapi apa yang aku lakukan selama ini?? Terkadang, ah bahkan sering rasa malas menggelayutiku untuk pergi mencari ilmu. Jika aku bandingkan dengan perjuangan Julianti seharusnya aku bisa lebih rajin dari Julianti. Orangtuaku memberi fasilitas sepeda motor. Mengapa rasa malas tetap saja membersamaiku?? Aku mulai merenung dan akhirnya aku berniat untuk memperbaiki hidupku. Menjadi seseorang yang lebih bersemangat lagi.

Tiga bulan akhirnya berlalu. Dan memang sudah menjadi sifat manusia jika suatu ketika ia merasakan bosan. Itulah yang aku alami. Aku mulai merasa bosan dengan rutinitasku mendampingi Dian dan Julianti belajar. Apalagi aku tak mendapatkan sepeser uang pun dari rutinitasku itu. Aku mulai mencari-cari alasan untuk tidak hadir dalam evaluasi di hari Sabtu. Terkadang dalam dua pekan hanya sekali aku berangkat menghadiri evaluasi. Laporan mentoring belajar pun kubuat seadanya. Hingga suatu hari ayahku mendapatiku duduk di depan TV dan bertanya mengapa aku tidak pergi mendampingi Dian dan Julianti belajar padahal hari itu adalah jadwalku mendampingi mereka belajar. Aku pun berkata bahwa aku capek dan agak malas. Beliau pun berkata, “Kita harus belajar bertanggung jawab, menjaga komitmen. Saat ini kau merasa lelah namun tanggung jawabmu untuk membantu mereka terus menunggu.” Akhirnya dengan perasaan agak malas aku pergi ke rumah Julianti. Disana rasa malasku sedikit terobati dengan ucapan terimakasih dari ibu Julianti. Aku merasa bersalah mengapa selama ini aku malas-malasan padahal Julianti selalu menunggu kedatanganku. Hari itu aku memang hanya datang ke rumah Julianti karena terus terang aku agak sedikit malas datang ke rumah Dian. Sudah beberapa kali pada akhir-akhir waktu ini Dian tak ada di rumah saat aku datang. Ini membuatku sedikit sebal. Sehingga hari itu kuputuskan untuk tidak datang ke rumah Dian.
Satu pekan berselang, hari itu tanggal 22 Oktober 2011 aku datang pada acara evaluasi rutin. Sesi akhir evaluasi kami para mentor dikumpulkan kemudian koordinator umum mulai menyampaikan sesuatu. Ia menyampaikan rasa kecewanya karena kami mulai melanggar komitmen awal kami. Di awal dulu kami telah berkomitmen untuk mengikuti seluruh rangkaian kegiatan yang diadakan termasuk evaluasi. Namun akhir-akhir ini banyak dari kami yang absen saat evaluasi mentoring diadakan. Aku merasa bersalah dan sangat menyesal selama ini telah menyia-nyiakan waktuku. Kemudian kami diberi undangan training yang akan diadakan keesokan harinya.

Akhirnya pada tanggal 23 Oktober 2011 aku menghadiri training itu. Ini adalah kali kedua aku mengikuti training mentoring di BMT. Hari itu kuusahakan aku datang tepat waktu. Aku tak mau rasa malas menggelayutiku jika aku menunda-nunda keberangkatanku. Tiba disana aku sedikit kaget karena yang datang hanya delapan orang termasuk aku. Banyak mentor yang izin ternyata. Aku sedikit kesal karena sebenarnya hari itu di rumah tanteku ada hajatan. Ku kira dengan sedikit peringatan dari ketua koordinator saat evaluasi kemarin tak ada yang berani izin untuk tidak berangkat. Tapi sudahlah, akhirnya aku memutuskan untuk berkonsentrasi pada isi training agar aku memperoleh ilmu yang bermanfaat daripada hanya bergumam kesal dalam hati.

Training kali ini dibagi menjadi empat sesi. Sesi pertama hingga ketiga diisi dengan beberapa metode mengajar. Dan yang paling membuatku terkesan adalah sesi terakhir. Di sesi terakhir ini diisi pemberian motivasi. Awal mulanya kami diminta menceritakan perasaan apa yang ada di hati dan pikiran kami saat kami mendampingi belajar anak-anak dhuafa. Dan sudah bisa ditebak perasaan satu mentor dengan mentor yang lain tak jauh berbeda. Kebanyakan dari kami mengeluhkan rasa malas, capek, kesal dan lain sebagainya. Hampir tak ada lagi semangat yang menyala di hati kami. Kemudian mulai diperdengarkan sebuah lagu yang tak asing bagi kami. Lagu dari penyanyi legendaris Indonesia, almarhum Chrisye, lagu itu berjudul Ketika Kaki dan Tangan Bicara,
Akan datang hari
Mulut dikunci
Kata tak ada lagi
Akan tiba masa
Tak ada suara
Dari mulut kita

Berkata tangan kita
Tentang apa yang dilakukannya
Berkata kaki kita
Kemana saja dia melangkahnya
Tidak tahu kita
Bila harinya
Tanggung jawab tiba...
Rabbana
Tangan kami
Kaki kami
Mulut kami
Mata hati kami
Luruskanlah
Kukuhkanlah
Di jalan cahaya sempurna

Mohon karunia
Kepada kami
HambaMu yang hina


Kami hanyut dalam keheningan lagu tersebut. Lalu satu persatu dari kami diminta untuk menebak korelasi lagu itu dengan segenap perasaan saat menemani anak-anak dhuafa yang kami ungkapkan tadi. Dan tiba giliranku, kukatakan “Saat ini memang kita merasa capek dan lelah saat menemani adik-adik belajar. Namun suatu ketika saat tak sepatah katapun yang dapat keluar dari mulut, kelak rasa capek dan lelah itu yang akan bercerita tentang apa yang kita kerjakan. Jika kita mengihklaskan diri untuk merasakan lelah dan capek maka kelak rasa lelah dan capek itu yang akan membuat kita bahagia.” Ternyata apa yang aku utarakan disambut baik oleh penyaji. Ia kemudian menjelaskan lebih detail lagi. Ia menjelaskan bahwa mengajarkan kebaikan (dalam hal ini ilmu) akan memperoleh pahal yang tak terputus. Karena sama saja kita ikut berkontribusi dalam membangun peradaban Islam yang baru. Dari sini rasa sesal menghimpit dadaku. Aku merasa selama ini telah menyia-nyiakan begitu banyak waktuku.

Dari hari itu aku mulai mencoba membenahi sisa waktu yang masih kumiliki saat ini. Aku juga mulai peduli dengan keadaan anak-anak kecil di desaku. Aku mulai aktif di TPA (Taman Pendidikan Al Qur’an) dan pengajian remaja di desaku. Sekarang setiap pekan aku harus pulang ke desaku. Hari Jumat malam aku mengikuti pengajian remaja, Sabtu mengikuti evaluasi mentoring di wisma BMT dan hari minggu kugunakan untuk mendampingi Dian dan Juli belajar serta sore harinya aku sempatkan untuk mengajar TPA. Sekarang aku juga mencoba aktif di forum silaturahmi TPA sedesa dan perkumpulan remaja muslim di tingkat desa. Aku ingin mencoba menjadi orang yang peduli terhadap sekitarku. Apalagi akibat adanya globalisasi saat ini pergaulan diantara kaum muda sudah sangat mengkhawatirkan dan aku tak mau anak-anak di lingkungan desaku ikut hanyut dalam arus itu nantinya. Dan cara yang kucoba saat ini adalah mulai mengaktifkan kembali TPA yang mulai vakum serta menyambut baik usulan dari salah seorang senior untuk mengadakan pengajian remaja. Beliau mau menjadi pembicara setiap diadakan pengajian remaja. Beliau adalah seorang dosen di salah satu perguruan tinggi swasta di kota Yogyakarta. Satu hal juga yang selalu aku ingat. Dulu waktu aku masih duduk di bangku sekolah menengah atas. Ada juga seorang senior yang berkata padaku, “Apa kamu tidak kasihan melihat adik-adik tidak bisa membaca al qur’an?” Ini membuatku malu, dua orang senior pemuda yang telah memiliki kesibukan pun masih mau pedulu dengan kondisi desaku. Mengapa aku yang hanya sibuk kuliah tak mau peduli??

Dan tak tanpa kusadari hidupku menjadi lebih berwarna sekarang. Banyak hal yang dapat kupelajari. Aku senang bisa dekat dengan anak-anak kecil di desaku. Terkadang penat yang kurasakan jika tugas kuliah menumpuk terobati dengan tawa dan canda anak-anak di TPA. Aku juga senang ikut menjadi mentor di BMT dan mendapatkan banyak inspirasi dari adik-adik yang aku dampingi. Meskipun lelah setiap pekan harus pulang dan kadang melewatkan beberapa acara bersama teman-teman di kampus namun aku senang dapat berbagi dengan mereka, adik-adik TPA dan Juli serta Dian.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar